Biaya MOS Memberatkan

KEJAKSAN – Walau pihak sekolah banyak yang mengklaim pelaksanaaan masa orientasi siswa (MOS) sebagai bagian pengembangan kreativitas siswa, namun tidak demikian pandangan para orang tua. Beberapa orang tua mengungkapkan MOS merupakan beban lain yang membutuhkan dana tak sedikit dari proses masuk sekolah bagi anaknya yang menjadi siswa baru. Seperti diungkapkan seorang orang tua murid, Agus Riyanto yang memasukkan anaknya ke sebuah SMAN. Agus menerangkan sebagai penunjang perlengkapan MOS, anaknya diperintahkan membawa segala kebutuhan yang bila dilihat dari aspek pendidikan pelajar SMA tidak ada korelasinya.
“Anak saya disuruh membawa balon gas, beberapa makanan ringan, roti, aneka macam pita, sepatu warrior, tas dari kardus, buku leces dan lainnya. Itu semua kan dibeli dengan uang, sehingga memberatkan beban orang tua yang sudah mengurus biaya daftar ulang, harus lagi mengikuti ketentuan pungutan yang diberlakukan,” katanya kepada Radar, Selasa (14/7).
Agus mengungkapkan kalau hal demikian dimaksudkan sebagai sarana pengembangan kreativitas sama-sekali jauh dari tujuan yang diharapkan, karena orang tua memandangnya sebagai tambahan beban biaya saja. “Belum lagi tugas membawa perlengkapan MOS yang memakai istilah tidak lazim, hingga anak dan orang tua mesti memecahkan semacam tebak-tebakan yang diberikan panitia MOS. Kalau tak dipenuhi, kasihan anak saya nanti kena hukuman dikerjai. Memang sangat merepotkan,” ujarnya.
Di tempat terpisah pengamat dunia pendidikan, dr Lina Molina menilai pelaksanaan MOS sudah semestinya memang berjalan di tiap sekolah sebagai wadah pengenalan antaranak baru dan lingkungan sekolahnya. Namun demikian, sambung Lina, pelaksanaan MOS sudah seharusnya dihindarkan dari kebiasaan mengerjai adik kelas dengan hal-hal yang tidak penting. “Pelaksanaan MOS harus membangun nuansa kekompakan antarsiswa baru. Kakak kelas yang biasa jadi panitia pun mesti menunjukkan sikap yang lebih dewasa, jangan seenaknya,” ucapnya.
Mengenai beban tugas perlengkapan penunjang MOS dan beberapa hal dalam pelaksanaan MOS yang mengarah pada pelecehan fisik, seperti siswa yang berbadan tambun mesti memakai papan nama bertuliskan Edut, Lina menerangkan hal tersebut telah melampaui batas.
Ia menegaskan kalaupun pemberian hukuman mesti dismpaikan pada siswa baru yang melakukan pelanggaran, hendaknya jangan mengarah pada pelecehan fisik. “Kalau menyinggung secara fisik, yang ada nanti siswa baru malah rendah diri karena malu dan akhirnya traumatis. Kelak kalau ia malas sekolah siapa yang bertanggung jawab,” tuturnya.
Pantauan Radar, seorang siswa baru di sebuah SMAN yang bernama William mengaku sedih dengan pemberian julukan yang ditujukan pada dirinya. William yang bertubuh tambun dipaksa mengenakan papan nama bertuliskan Endut oleh panitia MOS setempat.
“Ya malu Mas nama saya kan William, mengapa mendapat panggilan Endut, saya jadi malu dan sedih,” ujarnya. (ron)

Tinggalkan komentar